Oleh : Zainal Abidin
Ridwan
Ketua Relawan TIK Prop. Sulawesi Selatan
(Ditulis sebagai respon maraknya kampanye negatif jelang pilkada Kota Makassar)
Seberapa besar cinta
anda pada kota Makassar dan apa yang sudah anda lakukan untuk kota yang
diharapkan menjadi pintu masuk kawasan timur Indonesia ini !?.
Mungkin
pertanyaan ini terdengar sepele. Namun menjadi menarik mengupas wujud rasa
cinta kepada Makassar menjelang jadwal pencoblosan pemilihan walikota Makassar,
tanggal 18 September 2013 pekan ini. Bukan hanya pekan ini kota Makassar
menjadi pusat perhatian, namun pada masa kampanye sepuluh kandidat walikota
Makassar, kota tempat lahirnya makanan khas Pisang epe’ ini semakin “seksi”
saja dibicarakan.
Saya
tentu tidak ingin ketinggalan informasi terkait pelaksanaan pemilukada kota
Makassar. Ketika Koran-koran harian tiba di meja saya, langsung saya
menyambarnya. Namun, sejak tahapan pemilukada kota Makassar bergulir, selera
saya membaca naskah berita Koran menjadi hilang. Tatapan mata saya lebih banyak
tertuju pada iklan-iklan para kandidat.
Setiap
melihat dan membacanya saya berkesimpulan bahwa kota Makassar ini gudangnya
orang kreatif. Desain iklan dengan imajinasi tingkat tinggi selalu saja hadir
disetiap terbitan koran. Sangat variatif. Inilah bentuk seni yang dinikmati
dengan media penglihatan.
Hanya
saja, kendati hadir dengan ekspresi dan kreativitas yang luar biasa, tetap saja
iklan para kandidat ini menuai kontroversi dan kecaman. Bukan pada wilayah
bentuk rupa atau gambar-gambar yang ditampilkan meskipun itu juga ada, namun
lebih pada tulisan atau kalimat yang menghiasinya.
Selain
untaian kalimat visi dan misi maupun program kandidat, terkadang diselipkan
pula kalimat yang bernada hujatan, sentilan dan terkesan provokatif. Meski
tidak semua kandidat melakukan, namun satu atau dua kandidat saja yang
melakukan sudah pasti berpotensi merusak iklim demokrasi kita. Inikah wujud
cinta kita pada Makassar ?.
Demokrasi Digital
Untuk warga dunia maya (DM), sebutan
saya untuk pengguna media sosial, tentu tidak boleh larut bahkan ikut-ikutan
saling mengumpat dan memprovokasi di dunia maya. Bila hal inipun dilakukan,
maka alamat buruk pasti akan terjadi dan lebih merusak lagi iklim demokrasi.
Mengapa saya katakan demikian.
Pertama, karena jumlah wajib pilih pada
pilkada kota Makassar yang jumlahnya sekitar Satu Juta pemilih ini kemungkinan besar semuanya adalah pengguna
internet. Bisa jadi atau bahkan mungkin
semuanya memiliki akun jejaring sosial dan aktif berkomunikasi di dunia
virtual.
Bila
saling hujat dan memprovokasi menggunakan jejaring sosial dilakukan oleh
kandidat, tim sukses maupun simpatisan, maka masyarakat yang tidak tahu apa-apa
akan menjadi korban. Ingat, masyarakat adalah subyek teknologi dan bukan
obyek.
Yang
kedua, Asia Internet Coalition (AIC) bekerjasama Kementerian Kominfo RI, pada
awal Februari 2013 lalu merilis data pengguna internet di Makassar pada tahun
2012 sebesar 59 persen. Padahal pada tahun 2011, prosentasenya hanya mencapai
34 persen. Bila kampanye negatif dilakukan pula menggunakan jejaring sosial, maka
saya khawatir citra Makassar akan semakin jelek dan manfaat edukasi dari
internet itu tidak akan kita rasakan.
Olehnya
itu, alangkah elok dan cerdas bilamana seluruh kandidat, tim sukses, simpatisan
serta masyarakat Dunia Maya (DM) secara umum, bahu membahu memperbesar dampak
positif dan menekan efek negatif dari penggunaan internet, terkhusus jejaring
sosial. Harus disadari bahwa saat ini terjadi pergeseran bentuk demokrasi.
Usman Hamid, salah satu aktivis kontras pernah mengatakan bahwa saat ini era demokrasi
digital.
Menurut
Usman, media sosial dalam hal ini telah mendorong adanya komunitas virtual di
mana anggotanya dapat berdiskusi tentang isu publik, termasuk pilkada dan
kandidat, secara rasional. Kalaupun ada yang bersikap irasional, akan langsung
“dikeroyok” oleh yang lain.
Merespon
Pilkada melalui media sosial setidaknya menunjukkan peningkatan partisipasi warga dalam politik
kota. Bila selama ini kita menemukan kenyataan rendahnya partisipasi pemilih
yang hanya berada dikisaran angka 60 persen, maka sudah saatnya memanfaatkan
kehebatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini untuk meningkatkan
partisipasi pemilih. Sekali-kali update status-lah yang sifatnya ajakan untuk
memilih, ajakan datang ke TPS dan hindari golput. Jangan hanya update status
galau, alay atau yang tren saat ini status Vickynisasi.
Kita
tentu sepaham, satu cita dan cinta akan Makassar. Banyak hal positif dan
indah-indah tentang Makassar yang bisa kita kupas tuntas di facebook, twitter,
blog serta jejaring sosial lainnya, ketimbang melakukan kampanye negatif. Masih
banyak cerita indah tentang pantai Losari, pisang epe’, Coto Makassar yang
mesti dirampungkan.
Pun
masih ada sepenggal cerita yang bisa kita ulas tentang kandidat walikota dan
wakil walikota Makassar yang gagah dan cantik serta murah senyum itu, yang saat
ini saling berkompetisi. Kendati berkompetisi, mereka tetaplah saudara dan
mereka cinta Makassar. (*)